Sabtu, 13 Februari 2016

Desaku pinggir laut



           
Desaku pinggir laut, tempat dulu Kami di besarkan dan tempat kami bermain bersama hembus angin. Laut telah mengajarkan kami untuk berani, berjiwa keras, ganas bagai gelombang dan badai. Suku kami sangat menghormati laut, sebab laut adalah tradisi bagian dari adat. setiap anak laki-laki yang menjelang dewasa harus berlayar. Namun tradisi itu kini telah tenggelam oleh badai zaman. Anak muda sekarang telah berpendidikan, mereka menganggap bahwa pelaut adalah pekerjaan bagi orang yang tak berpendidikan. Inilah yang selalu membuatku selalu bertanya dalam hati, apakah kami harus menghidupkan tradisi? Bukan kami tak perduli! Tapi hidup terus berputar dan kami harus mengikuti roda zaman. Kami tetap menghormati lautan, seperti para pendahulu, karna laut ibu yang mendidik.

              Kakekku seorang pelaut, katanya badai dan gelombang adalah sahabat, sebab dengan itulah kapal mereka bisa berlayar menjangkau cakrawala. Namun kini pelaut-pelaut tua hanya bisa berbaring lemah, dan perahu tua hanya bisa merindukan lautan. Kini kami hanya bisa mendengar kisah ketangguhan kalian, melintasi lautan manantang ombak yang amarahnya tak pernah padam. Sungguh kisah yang membangkitkan semangat, tapi apa yang bisa kami lakukan pak tua? Kami hanya bisa mendengar dan hanya bisa berkata “maaf, kami tak bermaksut meninggalkan warisan kalian. oh pelaut tua, mungkin kami pemuda tangguh, tapi tak setangguh kalian. Kami berpendidikan, tapi tak sebijak kalian. kami tak sehebat kalian, kami tak pandai berlayar. Tapi kami punya cara sendiri untuk menjangkau cakrawala. Ajari kami menaklukkan dunia sebagaimana kalian menaklukkan lautan”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar