Selasa, 16 Februari 2016

Ayam Jantan


Nyanyian ayam jantan membangkitkan nurani di antara sinar abu-abu.
Angkat kepalamu musnahkan hama keraguan dalam jiwa.
Bersama kita berdiri, rangkullah bahuku, Ku topang tubuhmu, saling menguatkan.
Teduhku teduhmu, badaimu badaiku, falsafah mengikat jiwa kita.
Andai sorot pandang tajam menerjang kearahmu.
Jangan kau tundukkan pandanganmu, takut itu aib.
 Ada aku kawan, kita balas dengan telunjuk terhunus.
Kau tegakku, menumbangkanmu menjatuhkanku, mengusik damaimu menumbuhkan dukaku, mendungmu mangundang petirku.
Kita ayam jantan muda, dari tanah mentari terbit, selama mata langit bersinar dari timur, kita tak perlu bimbang.
Biarkan cahaya merah itu menuntun keluar dari kerangkeng gelap ayam pengecut.
Hingga tak ada keraguan menentang panas matahari, silaunya takkan mengaburkan pandangan.
Jangan redupkan semangat sultan hasanuddin, dengan bendera keadilan menentang orang-orang kulit putih itu, yang bertindak seenaknya di atas tanah moyang tempat kita berpijak.
Hikayat itu petuah bagai minyak yang mengobarkan api semangat yang cahayanya menangkis terik sinar panas matahari yang melemahkan itu.
Tetap berdiri tegap dengan taji tajam merobek congkak lawan, dengan suara lantang berkokok menggetar langit.
Terserah apa kata lawan, jangan biarkan api amarah membara, yang justru menghanguskan diri sendiri.
Jika mereka maju satu langkah, tetap di tempat menunggu dengan sigap.
Jika mereka mundur dua langkah, dua ratus langkah, hingga tak terlihat, jangan maju ataupun mundur, tetap di tempat jangan biarkan sikap lawan mengubah posisi kita berpijak.
Mundur bukan takut, tapi mengatur siasat, jernihkan kepala jangan termakan tipu muslihat perang.
Andai kita tak mampu berdiri di atas pijakkan, bukan berarti pasrah.
Mengalah buakan kalah, tetapi menanti kemenangan yang hakikatnya sama dengan seribu kemenangan.
Dan andai pun kita kalah, cahaya merah putih itu hanya redup sejenak.
 Sisa-sisa api semangat kita, akan terbawa hembus angin dan akan menghidupkan api baru, yang berpijar di langit abu-abu itu.
 Hingga cahayanya bersinar rata di bumi nusantara barat dan timur, yang memanusiakan mayat hidup, orang-orang yang semangatnya mati suri.


,,,RIAL HADI RAHMAWAN,,,

Sabtu, 13 Februari 2016

Desaku pinggir laut



           
Desaku pinggir laut, tempat dulu Kami di besarkan dan tempat kami bermain bersama hembus angin. Laut telah mengajarkan kami untuk berani, berjiwa keras, ganas bagai gelombang dan badai. Suku kami sangat menghormati laut, sebab laut adalah tradisi bagian dari adat. setiap anak laki-laki yang menjelang dewasa harus berlayar. Namun tradisi itu kini telah tenggelam oleh badai zaman. Anak muda sekarang telah berpendidikan, mereka menganggap bahwa pelaut adalah pekerjaan bagi orang yang tak berpendidikan. Inilah yang selalu membuatku selalu bertanya dalam hati, apakah kami harus menghidupkan tradisi? Bukan kami tak perduli! Tapi hidup terus berputar dan kami harus mengikuti roda zaman. Kami tetap menghormati lautan, seperti para pendahulu, karna laut ibu yang mendidik.

              Kakekku seorang pelaut, katanya badai dan gelombang adalah sahabat, sebab dengan itulah kapal mereka bisa berlayar menjangkau cakrawala. Namun kini pelaut-pelaut tua hanya bisa berbaring lemah, dan perahu tua hanya bisa merindukan lautan. Kini kami hanya bisa mendengar kisah ketangguhan kalian, melintasi lautan manantang ombak yang amarahnya tak pernah padam. Sungguh kisah yang membangkitkan semangat, tapi apa yang bisa kami lakukan pak tua? Kami hanya bisa mendengar dan hanya bisa berkata “maaf, kami tak bermaksut meninggalkan warisan kalian. oh pelaut tua, mungkin kami pemuda tangguh, tapi tak setangguh kalian. Kami berpendidikan, tapi tak sebijak kalian. kami tak sehebat kalian, kami tak pandai berlayar. Tapi kami punya cara sendiri untuk menjangkau cakrawala. Ajari kami menaklukkan dunia sebagaimana kalian menaklukkan lautan”.